Monday, December 1, 2008

Kisah 5 Rudi

____________________________________________________________________________
___________

Rudy Habibie dan Rudy Chaerudin, sukses mana?

Saya ingat waktu di SMA dulu, kami (murid) harus menjalani test IQ utk
penjurusan. Sekolah saya menetapkan bahwa murid2 dgn IQ tinggi bisa
masuk ke jurusan IPA/Science. Murid dgn IQ sedang hanya bisa masuk
jurusan Sosial dan yg paling rendah IQ nya hanya diijinkan utk masuk ke
jurusan Bahasa.

Aturan di sekolah saya ternyata berlawanan dgn aturan dari SMA Swasta
terkenal di Yogyakarta yg mengarahkan anak-anak yg ber IQ paling tinggi
justru ke jurusan Bahasa.

Sewaktu saya diskusi dgn Romo Mangun Wijaya (Alm) tentang kurikulum
sekolah, beliau mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih mewarisi
"budaya" kolonial Belanda.

Menurut beliau, seharusnya anak-anak yg kecerdasannya tinggi seharusnya
diarahkan utk masuk jurusan Sosial supaya di masa mendatang akan lahir
ekonom, hakim, jaksa, pengacara, polisi, diplomat, duta besar, politisi
dsb yg hebat2. Tetapi rupanya hal itu tidak dikehendaki oleh penguasa
(Belanda). Belanda menginginkan anak-anak yg cerdas tidak memikirkan
masalah2 sosial politik. Mereka cukup diarahkan utk menjadi tenaga
ahli/scientist, arsitektur, ahli computer, ahli matematika, dokter, dsb
yg asyik dgn science di laboratorium (pokoknya yg nggak membahayakan
posisi penguasa). Saya nggak tahu persis yg benar Romo Mangun Wijaya
atau pemerintah Belanda. Hanya saja waktu itu saya yg kuliah ambil
umum jadi patah semangat karena kayaknya kurikulum di
Indonesia ini hampir tidak ada hubungannya dgn kehidupan yg akan
dijalani orang setelah keluar dari sekolah.

Kita bisa lihat, Insinyur yg menjadi politisi bahkan memimpin
parlemen,kemudian dokter (umum) bisa menjadi kepala Dinas P&K atau
tenaga marketing, sarjana theologia yg jadi pengusaha, dsb. Sampai saat
ini, masih banyak orang tua dan masyarakat yg beranggapan bahwa anak yg
hebat adalah anak yg nilai matematika dan science-nya menonjol.
Paradigma berpikir orang tua/masyarakat ini sangat mempengaruhi konsep
anak tentang kesuksesan. Beberapa tahun yg lalu, lembaga tempat saya
bekerja mengadakan seminar anak-anak.

Di depan 800-an anak, Kak Seto Mulyadi (Si Komo) menunjukkan 5 Rudy.

- Yang Ke-1 : Rudy Habibie (BJ Habibie) yg genius, pintar bikin pesawat
dan bisa menjadi presiden.
- Yang Ke-2 : Rudy Hartono yg pernah beberapa menjadi juara bulu tangkis
kelas dunia.
- Yang Ke-3 : Rudy Salam yg suka main sinetron di TV
- Yang Ke-4 : Rudy Hadisuwarno yg ahli di bidang kecantikan dan punya
banyak salon kecantikan di beberapa kota.
- Yang Ke-5 : Rudy Choirudin yg jago masak dan sering tampil memandu
acara memasak di TV.

Sewaktu Kak Seto bertanya "Rudy yg mana yg paling sukses menurut
kalian?"
Hampir semua anak menjawab "Rudy Habibie"
Sewaktu ditanyakan "Mengapa, kalian bilang bahwa yg paling sukses Rudy
Habibie?"

Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi
presiden, dsb"
Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yg mana yg paling tidak sukses?"
Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin"
Ketika ditanyakan "Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan
orang yg sukses?"
Anak-anakpun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak"

Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dlm keluarga dan masyarakat
Indonesia pada umumnya yg masih menilai kesuksesan orang dari
karya-karya besar yg dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yg belum bisa
melihat kesuksesan adalah pengembangan talenta secara optimal sehingga
bisa dimanfaatkan dlm kehidupan yg dijalaninya dgn "enjoy".

Banyak masyarakat kita yg beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya.
Padahal kenyataannya EQ, SQ dan faktor2 lain juga sangat menentukan.
Dalam seminar tsb Kak Seto hanya ingin merubah paragidma berpikir
anak-anak (dan juga orang tua / keluarga). Anak-anak dan orang tua harus
menyadari dan mensyukuri setiap talenta yg diberikan oleh Tuhan.

Bila talenta tsb dikembangkan dgn baik, maka kita bisa mencapai
kesuksesan di "bidangnya". Jadi utk anak-anak yg tidak pintar
matematika, anak2 tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu atau
menekan anak.

Anak-anak yg lebih menyukai pelajaran menggambar dari pada pelajaran2
lain, bukanlah anak-anak yg bodoh karena justru anak2 yg punya imajinasi
tinggilah yg pintar menggambar/melukis. Anak-anak yg suka ngobrol, kalau
kita arahkan bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yg baik.

Anak-anak yg banyak bicara, kalau diarahkan utk menuliskan apa yg ingin
dibicarakan bisa2 menjadi penulis yg hebat. Mbak Dwi Setyani juga
mengingatkan kita utk lebih memfokuskan pada kekuatan kita dari pada
"wasting time" bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita.

Saya pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika.
Penyanyi tsb dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan
giginya tonggos. Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya
supaya giginya yg tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa
menghasilkan suara yg pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa
giginya yg tonggos itu bukanlah masalah, maka iapun bisa menyanyi dgn
bebas dan meng-eksplore suara emasnya. Ternyata orang-orang mengingat
penyanyi itu karena kualitas suaranya, bukan parasnya yg jelek dgn gigi
tonggosnya.

Kitapun meyakini bahwa Sang Pencipta menciptakan setiap kita (manusia)
dgn maksud yg terbaik. Kalau saja kita meyakini hal tsb, maka semua
orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta yg telah berikan.

No comments:

Post a Comment

Monggo..
silahkan di isi komentarnya..
Siapapun boleh, en gak di gigit balik kok..