Sunday, November 30, 2008

HAARP, Aurora dan Gempa --> Alat Penyebab Gempa di Dunia dgn tujuan Politis

> Date: Friday, November 28, 2008, 9:35 AM Mari bayangkan kita berdiri
> dalam jarak 10 m dari sebuah meja yang diatasnya terdapat segelas air
> minum. Tak ada media apapun yang menghubungkan kita dengan meja
> tersebut kecuali udara. Bisakah kita mengocok isi gelas tersebut tanpa
> menyentuhnya? Bisa, jika kita berfikir dalam paradigma kunyuk melempar
> buah ala Wiro Sableng. Namun itu sangat sulit diterima secara nalar
> bukan ? Sama juga dengan hubungan antara gempa dan aktivitas HAARP.
> Didalamnya banyak informasi sumir dan lebih parah lagi, kemudian
> dicampuradukkan sehingga sulit dipisahkan antara asumsi dan fakta.
> Sama jugalah dengan cerita Bom Bali I dan mikronuklir/SADM.
>
> HAARP alias High-frequency Active Auroral Program memang salah satu
> proyek Pentagon, hasil kerjasama US Air Force, US Navy, DARPA (Defense
> Advanced Research Project Agency) dan Univ. of Alaska. Berdiri pada
> 1993, proyek ini menempati sisi barat Taman Nasional Wrangell-Saint
> Elias di Gakona, Alaska, dengan tujuan mengetahui, menyimulasikan dan
> mengontrol proses ionosferik yang barangkali saja bisa digunakan untuk
> meningkatkan kemampuan telekomunikasi dan surveilans. HAARP terdiri
> dari 180 antenna yang meradiasikan
> 3,981 megawatt ERP (total effective radiated power).
> Fasilitas seperti HAARP tidak hanya dibangun AS saja. Eropa juga
> memilikinya, dengan ERP 1 gigawatt yang berpangkalan di Tromso,
> Norwegia. Demikian pula Russia dengan fasilitas sejenis di Vasilsurk,
> yang sanggup menghasilkan 190 megawatt ERP. Dengan berpatokan pada
> ERP-nya saja, kita bisa lihat HAARP adalah yang terkecil. Seluruh
> fasilitas ini berada di lingkar kutub utara (Arktik).
>
> Intensitas gelombang elektromagnetik high-frequency yang dipancarkan
> HAARP ke ionosfer mencapai 3 mikrowatt/cm persegi. Sebagai pembanding,
> intensitas radiasi elektromagnetik dari Matahari (dalam semua spektrum
> panjang
> gelombang) yang sampai ke permukaan Bumi mencapai 0,15 watt/cm persegi
> atau 50 ribu kali lebih besar. Dan marilah kita berandai-andai sedikit
> : bisakah pancaran sinar Matahari memicu gempa tektonik? Tidak bukan?
> Dan lantas, bisakah sinyal HAARP yang puluhan ribu kali lebih lemah
> ketimbang sinar Matahari itu memicu gempa?
>
> Kontroversi HAARP sebagai senjata geofisika telah muncul sejak
> September 1995 lewat buku Angel's Don't Play This HAARP: Advances in
> Tesla Technology yang ditulis Nick Begich, Jr. Sebelumnya konttroversi
> HAARP lebih pada senjata elektronik strategis terbaru dalam kerangka
> Strategic Defence Initiative (SDI) alias Star Wars model Ronald
> Reagan. Pada Agustus 2002, Vladimir Putin di depan komite pertahanan
> dan hubungan internasional Duma (parlemen Rusia) memang menyinggung
> HAARP sebagai "..the U.S. is creating new integral geophysical weapons
> that may influence the near-Earth medium with high-frequency radio
> waves. The significance of this qualitative leap could be compared to
> the transition from cold steel to firearms, or from conventional
> weapons to nuclear weapons. This new type of weapons differs from
> previous types in that the near-Earth medium becomes at once an object
> of direct influence and its component..", namun pernyataan ini
> hanyalah reaksi atas sikap ugal-ugalan Bush yang menarik diri dari
> Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (alias Mutual Destructive
> Treaty) yang ditandatangani Nixon dan Brezhnev dan menggelar National
> Missile Defense (sistem pertahanan rudal nasional) serta Theatre
> Missile Defense (sistem pertahanan rudal
> mandala) sebagai mutasi program SDI yang sebelumnya telah dibekukan
> Clinton. Putin sendiri inkonsisten dengan kata-katanya karena Russia
> ternyata juga memiliki fasilitas serupa HAARP (yakni Sura Ionospheric
> Heating Facility) di Vasilsurk yang bahkan lebih powerfull ketimbang
> HAARP.
>
> Kita bisa membandingkan HAARP atau instalasi sejenisnya dengan proses
> dinamika alami di ionosfer sendiri dalam bentuk kemunculan aurora atau
> cahaya kutub. Sebab prosesnya sama. Namun intensitas energi aurora
> ratusan hingga ribuan kali lebih kuat ketimbang HAARP. Dan jika ada
> hubungan antara dinamika ionosfer dengan gempa, maka seharusnya zona
> kutub utara dan selatan Bumi menjadi tempat aktivitas seismik
> teraktif, karena di sinilah aurora selalu muncul.
> Namun kenyataannya justru malah Jepang, Turki dan Indonesia yang
> menjadi kawasan seismik paling aktif. Demikian juga, jika ada hubungan
> aurora dengan gempa, ia juga gagal menjelaskan bagaimana gempa
> terdahsyat justru meletup di lepas pantai Chile pada 22 Mei 1960
> (magnitude Mw 9,6).
>
> Jangankan HAARP ataupun aurora, ledakan nuklir sekalipun ternyata juga
> tak sanggup memicu gempa tektonik. Eksperimen detonasi nuklir bawah
> tanah terdahsyat yang pernah dilakukan, yakni Cannikin (5 megaton TNT)
> pada 6 November
> 1971 di bawah Pulau Amchitka di gugusan Kepulauan Aleut, menghasilkan
> getaran setara gempa ber-body magnitude 6,8 skala Richter, namun tak
> sanggup meningkatkan frekuensi kegempaan di sepanjang zona subduksi
> Aleut, apalagi memicu gempa yang lebih besar. Padahal zona subduksi
> ini dikenal kritis karena secara geologis berada dalam kondisi fully
> locked dan sudah waktunya mengalami relaksasi tektonis yang
> menghasilkan gempa, terlebih segmen sebelah menyebelahnya baru saja
> terpatahkan pada 1964 dan memproduksi gempa besar
> (megathrust) Good Friday/Alaska 1964.
>
> Gempa Aceh, atau teknisnya disebut gempa megathrust Sumatra-Andaman
> 2004, diproduksi dari pematahan dua segmen bersebelahan dalam zona
> subduksi Sumatra, yakni segmen Andaman dan Simeulue, yang keseluruhan
> panjangnya 1.500 km.
> Sebagian kecil segmen Andaman pernah terpatahkan pada 1941 dengan
> menghasilkan gempa dan tsunami lokal. Sementara sebagian kecil sisi
> selatan segmen Simeulue juga pernah terpatahkan dalam gempa 2002.
> Namun secara umum seluruh segmen belum pernah terpatahkan hingga akhir
> 2004, mengingat umurnya yang tua (segmen Andaman berusia 90 juta
> tahun, segmen Simeulue 70 juta tahun) sehingga dianggap lebih stabil.
> Meski begitu, akibat rumitnya tektonik di sini dimana kedua segmen
> menjadi bagian dari mikrolempeng Burma, membuat kedua segmen
> tersubduksi dengan lempeng India dengan sifat subduksi sangat miring,
> dimana vektor lempeng India yang bergerak ke utara hampir sejajar
> terhadap zona subduksinya. Zona subduksinya juga unik karena
> melengkung mirip tapal kuda alias konkaf ke timur. Oleh interaksi
> macam ini, sebagian kecil vektor lempeng India memang bisa
> dimanifestasikan ke sistem patahan besar Andaman Barat, namun sebagian
> besar lainnya ditahan oleh segmen Andaman dan Simeulue. Inilah yang
> terus menerus menumpuk dari waktu ke waktu hingga akhirnya melampaui
> ambang batas daya tahan batuan setempat dan meletupkan megathrust
> dengan magnitude Mw 9,2. Penumpukan tekanan macam ini bukan hanya
> monopoli kedua segmen tadi, namun juga dialami hampir seluruh zona
> subduksi di Indonesia, misalnya segmen Mentawai (panjang 900
> km) atau bahkan juga segmen subduksi Jawa bagian tengah (panjang 300
> km) di lepas pantai selatan Pulau Jawa.
>
> Dengan luas segmen Simeulue dan Andaman yang terpatahkan sebesar
> 300.000 km persegi dan total slip 10 m (rata-rata, karena di beberapa
> tempat mencapai 20 meter), maka gempa ini melepaskan energi sebesar
> 950 megaton TNT atau 47.500 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom
> Hiroshima. Jika kita meyakini bahwa gempa ini bisa dipicu oleh
> aktivitas aurora/HAARP maupun ledakan nuklir, maka energi minimum
> aurora/HAARP maupun ledakan nuklir yang dibutuhkan untuk memicu gempa
> sebesar itu adalah 95 juta megaton TNT. Sebagai pembanding, jika
> seluruh hululedak nuklir yang ada di Bumi ini dikumpulkan dan
> diledakkan bersama-sama, energinya paling banter 'hanya' 20.000
> megaton TNT. Di tata surya ini, energi sebesar 95 juta megaton TNT
> tersebut hanya bisa dibangkitkan oleh satu sumber : tumbukan
> asteroid/komet. Mengapa butuh energi teramat besar? karena efisiensi
> pengubahan energi ledakan menjadi energi gempa itu sangat rendah,
> hanya 0,001 % (lihat di Melosh. 1989. Impact Cratering : A Geologic
> Process).
>
> Terlepas dari magnitude gempa dan korban jiwanya, dari sisi fisika
> sebenarnya gempa megathrust Sumatra-Andaman 2004 tidak begitu
> istimewa. Dengan magnitude Mw 9,2 memang wajar vertical run-up tsunami
> yang menerjang pesisir terdekat mencapai 15 - 20 m (rata-rata) sebagai
> kompensasi dari energi tsunami yang besarnya 15 megaton TNT (lihat
> misalnya catatan Katsuyuki Abe, 2004, dalam Kanamori 2005). Dan memang
> dalam beberapa gempa, seperti di Sichuan setengah tahun lalu maupun di
> Samudera Hindia 17 Juli 2006 juga teramati adanya kilatan cahaya yang
> berwarna-warni mirip aurora, yang dikenal sebagai earthquake
> lights/earthquake rays. Fenomena ini sebenarnya sudah teramati sejak
> lama, bahkan jauh hari menjelang Gempa Tangshan 1976 (gempa paling
> mematikan dalam sejarah yang membunuh 750 ribu jiwa) pun sudah
> teramati.
>
> Banyak penjelasan diajukan untuk earthquake lights ini.
> Satu yang bisa diterima, cahaya itu muncul sebagai akibat adanya
> peningkatan intensitas ion/elektron di atmosfer lokal menjelang
> terjadinya gempa, ketika segmen batuan mulai terpatahkan dan
> bergesekan antar sesamanya. Jumlah ion/elektron juga semakin meningkat
> karena retakan-retakan kulit Bumi yang mulai terbentuk menjelang
> meletupnya gempa menyemburkan gas radioaktif dalam jumlah besar,
> umumnya Radon, sang pemancar sinar alfa. Sebutir sinar alfa di udara
> mampu menciptakan 10.000 pasang ion-elektron di sepanjang lintasannya.
> Sama seperti aurora, tubrukan ion/elektron berlebih ini dengan
> molekul-molekul udara pun menghasilkan emisi cahaya. Sementara arus
> ion/elektron dalam medan magnet Bumi menghasilkan gelombang
> elektromagnetik dalam spektrum gelombang radio, sebagaimana teramati
> dalam beberapa gempa.
> Arus partikel ini sanggup pula mengganggu garis-garis gaya magnet Bumi
> setempat, sehingga menghasilkan perilaku anomalik pada makhluk hidup
> yang menggunakan magnet Bumi sebagai panduan navigasinya, misalnya
> burung.
>
> Dan akhirnya, tak perlulah merasa underestimate berhadapan dengan AS
> dan lembaga-lembaganya macam CIA. Dari Tim Weiner dalam CIA : Legacy
> of Ashes, kita tahu banyak hal konyol bahkan di badan intelejen
> terbesar di Bumi ini, sampai-sampai untuk mengetahui informasi nomor
> wahid macam runtuhnya Tembok Berlin mereka harus mendapatkannya dari
> siaran TV. Dan kekonyolan ini bukan monopoli CIA saja. Tahu kenapa
> satelit Mars Climate Orbiter dan wahana pendarat Mars Polar Lander
> lenyap berurutan pada 1999 di Mars? Mereka "hilang" karena NASA gagal
> mengkonversi hitungan sistem British ke dalam sistem metrik.
> Kekonyolan yang sama pula membuat satelit Mars Global Surveyor
> 'hilang'
> pada 2006.
>
> Salam,
>
>
> Ma'rufin
>
>
>
> ________________________________
> From: irtadho falah <ilenk_23@yahoo.com>
> Sent: Monday, November 17, 2008 9:52:10 AM
> Subject: Alat Penyebab Gempa di Dunia dgn tujuan Politis
>
>
> Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
>
> Saya mendapatkan informasi terpercaya dari sebuah forum terbesar di
> Indonesia yang menyebutkan tentang Penyebab Gempa Bumi yang pernah
> terjadi di Dunia termasuk bencana Tsunami yang pernah menimpa
> Indonesia.
>
> Dan ternyata, Alat tersebut dibuat untuk mencapai tujuan politis bagi
> negara tertentu agar kepentingannya tercapai.
> Berikut adalah linknya
> http://www.youtube.com/watch?v=0VX0JvpW5q0 Disitu dijelaskan secara
> rinci berbagai macam hubungannya mengenai bencana gempa bumi yang
> pernah terjadi di berbagai belahan dunia beberapa waktu yang lalu.
>
> Informasi ini saya sebarkan hanya sebagai tambahan pengetahuan saja
> tentang betapa kejamnya politik luar negeri Amerika Serikat dan
> sekutunya dalam rangka untuk tercapainya
> kepentingan2 mereka di dunia.
>
> Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
>
> Best Regards,
>
> Irtadho

No comments:

Post a Comment

Monggo..
silahkan di isi komentarnya..
Siapapun boleh, en gak di gigit balik kok..