Wednesday, November 26, 2008

United States of Banana & Republik Sandwich

cukup menarik isu-isu yang digelontorkan untuk bahan diskusi bagi para
pemerhati ekonomi serta moneter.

==

Amerika Serikat hari ini berkat krisis subprime morgtgage menjelma menjadi
negeri yang mendekati kemiripan sebagai Republik Pisang, sedangkan Indonesia
hari ini yang berkat IMF menjelma menjadi negeri yang punya hubungan politik
dan ekonomi sangat dekat dengan Amerika serta nyaris sudah menjadi satelit
Amerika Serikat, menjadi negeri yang mendekati kemiripan sebagai Republik
Sandwich.

Masihkah kita haqul yakin mempercayai sistem ekonomi dan sistem keuangan
yang diperkenalkan dunia Barat yang mana sistem itu di negaranya sendiri
telah terbukti menjadi pangkal bencana ?. Masihkah kita dengan sepenuh hati
dan sepenuh keyakinan serta sepenuh daya upaya akan terus istiqomah untuk
berpegang teguh pada sistem ekonomi dan sistem keuangan yang telah menjepit
kita bagaikan sandwich ?.

Wallahu'alambishshawab.

*****


Krisis 'menggulung' perusahaan raksasa Amerika. Kini semuanya berubah. Era
kapitalisme laissez-faire berakhir, super-power Amerika kehilangan pengaruh
dan uang. Ia kini mirip Republik Pisang (Banana Republic) tapi punya senjata
nuklir . Bagaimana Indonesia ?.

Kaum Republik masih mencoba memperlihatkan loyalitas membela sistem
kapitalisme laissez-faire. Maka Senin, 29 September lalu, mereka menolak
rancangan penyelamatan ekonomi senilai 700 milyar dollar dari pemerintahan
George Bush. Rancangan itu pun kalah dalam voting di DPR (House of
Representative), di Washington.

Akibatnya bursa saham Amerika terpuruk. Menyebar ketidak-pastian akan nasib
ekonomi negeri super-power yang sedang dilanda krisis keuangan dahsyat itu.
Isu itu kemudian berpengaruh ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, negeri
yang punya hubungan politik dan ekonomi sangat dekat dengan Amerika.

Sejak reformasi 1998, berkat pengaruh IMF, Indonesia mengikuti Amerika
melaksanakan sistem ekonomi kapitalisme laissez-faire. Presiden SBY menjadi
sekutu dekat Presiden Bush.

Banyak pengamat berpendapat program 700 milyar itu esensinya untuk mencegah
menyebarnya malapetaka ekonomi. Tapi yang menjadi masalah besar bagi kaum
Republik, program penyelamatan itu jelas-jelas merupakan campur tangan
pemerintah ke pasar, sesuatu yang diharamkan oleh ideologi laissez-faire.
Berbagai langkah dalam program penyelamatan itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip pasar bebas (free market).

''Penyelamatan yang masif ini bukanlah solusi. Ini cara sosialisme dan bukan
Amerika,'' kata Senator Jim Bunning dari Partai Republik (The Washington
Post, 28 September 2008). Karenanya sekitar 60% anggota Republik di DPR
memilih menolak rancangan penyelamatan dari pemerintah, meski sudah mendapat
dukungan dari calon presiden Barack Obama (Demokrat) mau pun John McCain
(Republik).

Para anggota Parlemen dari Partai Republik, selain itu, dikabarkan
tersinggung berat atas pidato Ketua DPR Nancy Pelosi (Partai Demokrat)
menjelang pemungutan suara, yang teramat memojokkan Presiden Bush dan Partai
Republik. Ketika itu Pelosi mengingatkan bahwa ketika pertama menjadi
Presiden, Bush mewarisi anggaran surplus dari Presiden Bill Clinton
(Demokrat) sebesar 5,6 triliun dollar. Tapi dengan kecerobohan kebijakan
ekonominya dalam tempo dua tahun, anggaran surplus tadi sudah defisit.
''Setelah delapan tahun dengan kebijakan pajak yang tak bertanggung jawab
dikombinasikan dengan kebijakan ekonominya, telah membawa kita mengalami
nasib seperti sekarang ini,'' ujar Pelosi. ''Mereka mengklaim sebagai
pembela pasar bebas maka semua diserahkan pada mentalitas. Tak ada regulasi,
tak ada supervisi, tak ada disiplin. Tapi kalau gagal, kau akan dapat
parasut emas dan para pembayar pajak yang akan membayarnya.'' Kata-kata
Pelosi itu memang tajam menghunjam
tapi semuanya didukung fakta yang sebenarnya terjadi.

Setelah kegagalan rancangan itu di DPR, orang-orang Presiden Bush
kasak-kusuk di Senat bagaimana agar rancangan itu -dengan perbaikan di
sana-sini- bisa lolos. Antara lain, dengan pemotongan atau pembebasan pajak
untuk kelas menengah. Jumlah tabungan atau deposito di bank yang dijamin
pemerintah ditingkatkan dari 100.000 dollar menjadi 250.000 dollar. Yang
lebih penting sejumlah regulasi disiapkan sehingga para pemilik bank tak
seenaknya bermain seperti selama ini.

Tapi peranan calon presiden Barack Obama dalam menggoalkan rancangan itu
cukup besar. Dia terus terang mendukung program ini. Anggota kaukus kulit
hitam di DPR dia lobi sehingga banyak yang berubah sikap dari menantang jadi
mendukung program itu. Akhirnya program itu disetujui di Senat dan kemudian
menang voting di DPR, Jumat, 4 Oktober lalu. Sikap Obama yang ''all-out''
dalam menghadapi krisis ekonomi sekarang, membuat namanya lebih berkibar di
hadapan pemilih dibanding John McCain, calon presiden dari Partai Republik.
Obama tampak di atas angin berhadapan dengan John McCain yang selama ini
merupakan pendukung laissez-faire.

Tapi sementara itu perusahaan terus bertumbangan satu persatu sebagai korban
dari krisis keuangan yang menurut para ahli paling parah setelah depresi
terburuk atau Great Depression 1929. Kini disebut ada tiga bank sedang
terancam bangkrut : National City Corp, Downey Financial Corp, dan Sovereign
Bancorp. Ketiga bank itu juga terkena imbas dari krisis kredit perumahan,
subprime mortgage. Sebelumnya, Wachovia Corporation, salah satu bank besar
dengan aset 783 milyar dollar (2007) dengan karyawan 122.000 orang, telah
diambil-alih Wells Fargo, bank dari San Francisco. Wachovia betul-betul
oleng. Padahal bank yang berpusat di Charlotte, North Carolina itu, sudah
berusia 100 tahun, dan terbukti mampu menyelamatkan diri dari berbagai
krisis, termasuk dari Great Depression 1929. Kali ini dia tersungkur.
Sebelumnya, Washington Mutual Inc, bank simpan-pinjam terbesar di Amerika
yang berkantor pusat di Seattle oleng dan diambil-alih The Federal Deposit
Insurance Corp (FDIC),
badan federal penjamin deposito. Badan itu menjual Washington Mutual Inc -
biasa disingkat WaMu - seharga 1,9 milyar dollar kepada Bank JP Morgan
Chase.

Sudah terlalu banyak lembaga keuangan raksasa yang bangkrut di Amerika
sepanjang September ini. Sebutlah Merril Lynch, Lehman Brothers, dan
American International Group (AIG). Sebelumnya sudah bangkrut Fanny Mae,
Freddy Mac, dan Bear Stearns. Semua ini kelas raksasa. Belum dihitung
lembaga keuangan kelas menengah semacam IndyMac, bank dari Los Angeles yang
bangkrut Juli lalu. Jumlahnya sudah puluhan. Maka kini raksasa keuangan yang
masih tersisa di Amerika Serikat tak lagi banyak. Yang paling solid ada
tiga, yaitu Bank of America, JP Morgan Chase, dan Citigroup. Itu pun tak
berarti ketiganya bebas dari guncangan krisis. Senin, 29 September lalu,
misalnya, ketiganya mengalami penurunan saham sampai lebih 10%. Citigroup
tahun lalu sudah oleng terpaksa disuntik dana dari Timur Tengah dan China.

Krisis yang sudah dimulai pertengahan tahun lalu, pada September justru
menunjukkan keganasan yang meningkat dengan bangkrutnya sejumlah lembaga
keuangan raksasa itu. Sampai kapan krisis berakhir? Tak ada ahli yang berani
meramalkan dengan tegas.

Profesor Paul Krugman, guru besar ekonomi di University of Princeton dan
kolomnis The New York Times, berpendapat bahwa yang amat mengkhawatirkan,
pemerintah sama sekali tak berfungsi dalam menghadapi krisis besar ini.
Kongres tak sedikit pun mempercayai Gedung Putih. ''Maka seperti dikatakan
seorang teman, kita ini sudah menjadi Republik Pisang (banana republic)
dengan memiliki senjata nuklir',' kata Paul Krugman (The New York Times, 30
September 2008).

Memang setelah Partai Republik dikalahkan Partai Demokrat dalam pemilihan
umum sela akhir 2006, Presiden Bush menjalankan masa pemerintahannya dengan
sulit. Adalah Bush sendiri yang dianggap sebagai penyebab utama kekalahan
Partai Republik, antara lain, karena kebijakannya dalam Perang Iraq yang
banyak dikecam rakyat Amerika sebab bakal menghabiskan dana 3 triliun
dollar. Bush dianggap mengobarkan perang itu dengan alasan palsu, seperti
senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan dan kaitan Saddam Hussein
dengan jaringan terorisme Al-Qaeda yang juga tak pernah bisa dibuktikan.
Perang ini kemudian menjadi pemicu kenaikan harga minyak bumi dunia, dan
menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis keuangan ini.

Sejak kekalahan dalam Pemilu sela akhir 2006, Bush menjadi bebek pincang
(lameduck). Ia masih memerintah sebagai presiden tapi dengan kekuasaan yang
lemah karena kongres dikuasai kelompok oposisi, Partai Demokrat. Dengan
ditolaknya rancangan penyelamatan ekonomi Presiden Bush oleh DPR tadi,
berarti sekarang Bush sudah tak didukung para anggota DPR dari Partai
Republik, partainya sendiri.

Di saat seperti inilah sekarang Amerika menghadapi krisis keuangan yang
dahsyat yang menyebabkan banyak perusahaan raksasa yang selama ini menjadi
ikon Amerika -semacam Lehman Brothers dan AIG- jatuh bangkrut. Bisnis macet,
pengangguran melonjak, utang luar negeri membengkak, pantas negeri ini
sekarang disebut Republik Pisang -sebutan untuk negeri lemah di Amerika
Latin- tapi memiliki senjata nuklir.

Sebenarnya program 700 milyar dollar itu mirip dengan proyek Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berbiaya Rp 650 triliun dalam krisis
moneter di Indonesia 1998.

Yang menjadi masalah, krisis keuangan ini sudah merembet ke mana-mana.
Misalnya, penjualan mobil -bisnis paling marak di Amerika setelah perumahan-
sekarang amat lesu. Sulitnya pengucuran kredit bank ditambah ketidak-pastian
banyak orang akan nasib pekerjaannya, menyebabkan bisnis mobil betul-betul
melorot. Tahun ini diperhitungkan 500 sampai 600 dealer mobil akan tutup,
lebih besar dari tahun lalu, 430 dealer, dan tahun sebelumnya, 295 dealer
menutup usahanya.

Artinya, walau pun rancangan penyelamatan keuangan berbiaya 700 milyar
dollar diterima DPR, tak ada jaminan krisis ini segera berakhir. Pada saat
DPR menerima rancangan itu indeks saham di Wall Street malah jatuh 157 poin,
setelah beberapa hari sebelumnya terjun bebas dengan 778 poin. Agaknya pasar
terkejut pada pengumuman Departemen Perburuhan pada Jumat pertama bulan
Oktober bahwa sepanjang September telah hilang kesempatan kerja sebanyak
159.000. Jumlah itu merupakan tertinggi selama lima tahun terakhir. Dengan
demikian, pekerjaan yang hilang sepanjang tahun ini menjadi 760.000.

Sekarang di Amerika Serikat terdapat 9,5 juta penganggur. Sebanyak 2 juta di
antaranya sudah menganggur lebih dari 6 bulan. Sebanyak 6,1 juta bekerja
serabutan karena tak dapat mencari pekerjaan penuh dengan gaji penuh pula.

Di dalam sistem kapitalisme laissez-faire di zaman Presiden Bush, buruh
dibayar atas dasar pekerjaannya. Karena itu berbagai data menunjukkan
kesejahteraan buruh dengan para direkturnya terus bertambah senjang.

''Berita bagus tentang buruh, kalau bisa dikatakan bagus, mereka sangat
gampang mendapatkan kredit'', tulis editorial The New York Times, 5 Oktober
lalu.

Tapi sebenarnya itu adalah kabar buruk. Karena kemudahan itu, kebanyakan
orang Amerika sekarang tak punya tabungan, tapi memiliki banyak utang. ''Itu
artinya'', tulis editorial tadi, ''mereka akan kesulitan mengurusi diri dan
keluarganya ketika menganggur seperti sekarang''.

Kevin Phillips, bekas ahli strategi Partai Republik, mengungkapkan panjang
lebar di dalam bukunya Bad Money (Viking Penguin, 2008) bagaimana orang
Amerika Serikat amat tergantung utang.

Sudah sejak zaman Presiden Ronald Reagan, ketika sistem kapitalisme
laissez-faire ditrapkan -untuk menandingi sistem ekonomi komunisme Uni
Soviet- kebiasaan menumpuk utang dilakukan. Sekadar contoh, utang sektor
finansil pada 1974 masih 258 milyar dollar, pada 1984 (di zaman Reagan)
melonjak berlipat-lipat menjadi 1,052 triliun dollar, dan pada 2006, sudah
14,184 triliun dollar. Jumlah utang ini berarti mencapai 107% dari GDP
(gross domestic product) Amerika Serikat. Keseluruhan utang (utang finansil
dan non-finansil, utang rumah tangga dan pemerintah) pada 2006, berjumlah
44, 744 triliun dollar atau 300% lebih dari GDP. Sulit dijawab bagaimana
cara membayarnya.

Ada lagi hal penting yang diamati Kevin Phillips. Negeri itu pelan-pelan
meninggalkan industri manufaktur (manufacturing) yang selama Perang Dunia II
menjadi andalan dan membuat ekonomi Amerika bangkit dari keterpurukan great
depression 1929.

Sekarang yang menjadi primadona adalah industri keuangan (financial
services). Kevin Phillips mencatat, pada 1950, seusai Perang Dunia II,
industri manufaktur berperan 29,3% dari GDP, nyaris tiga kali lipat sektor
keuangan yang hanya 10,9% dari GDP. Pelan-pelan kondisi itu bergeser. Di
tahun 2005, misalnya, sektor manufaktur hanya tinggal 12% dari GDP. Di saat
yang sama, sektor keuangan menyumbang 20,4% dari GDP.

Sampai saat ini sektor finansial menjadi penyumbang terpenting ekonomi
Amerika, mengalahkan manufaktur, sektor eceran/retail, dan kesehatan.
Mencari uang di Wall Street atau di kantor bank dengan dasi melilit leher
lebih diimpikan di Amerika daripada bekerja di pabrik. Maka pabrik-pabrik
digeser ke luar negeri, ke Meksiko, India, atau China. Bermunculan bank atau
lembaga keuangan raksasa semacam Goldman Sach, Morgan Stanley, Lehman
Brothers, Merry Linch, Citigroup, dan semacamnya. Begitu pula perusahaa
pialang atau pengelola aset (hedge-funds).

Sektor keuangan ini betul-betul berpesta-pora. Dengan laissez-faire,
pemerintah mengenakan pajak murah atau potongan pajak, lalu membuang
jauh-jauh segala macam regulasi. Pasar betul-betul dibebaskan, para pemilik
modal yang menentukan sesuatu itu hitam atau putih.

Pasar seperti ini ternyata memang menimbulkan kreativitas tinggi, terutama
dalam menciptakan berbagai macam instrument baru surat utang dan turunannya.
Muncul berbagai surat utang yang baru dengan nama mortgage-back securities
(MBS), collateralized mortgage obligation (CMO), collateralized debt
obligation (CDO), dan credit default swaps (CDS). Nyaris semua instrumen
utang itu berhubungan dengan kredit perumahan dan real estate.

Harap diketahui sekitar 60% dari bisnis sektor finansial terkait dengan
kredit perumahan, subprime morgtgage. Praktek yang terjadi kira-kira seperti
ini. Sebuah proyek perumahan menjadi surat utang. Pembayarannya macet, maka
perusahaan pengelolanya membuat lagi surat utang lain dan disebarkan ke
mana-mana. Seorang konsumen di Jakarta, misalnya, membeli surat utang
keluaran Lehman Brothers yang bangkrut, melalui Citibank Jakarta.
Dan jangan lupa, setiap penjualan surat-surat berharga itu komisinya cukup
besar. Maka bisnis ini menyebabkan perusahaan keuangan tumbuh cepat menjadi
raksasa dengan eksekutif bergaji jutaan dollar, untuk kini bangkrut dan
membebani seluruh rakyat pembayar pajak Amerika. Beginilah cara kerja
kapitalisme laissez-faire.

Ternyata pada prakteknya, kredit perumahan diberikan kepada orang-orang yang
sebenarnya tak layak. Sudah terlalu banyak rumah dibangun sehingga sulit
mencari calon konsumen yang memenuhi syarat. Ketika kemudian beberapa tahun
lalu, diketahui pembayaran kredit perumahan itu macet, mulailah bencana ini
terjadi. Harga rumah langsung jatuh dan puluhan ribu rumah disita atau
terancam penyitaan.

Bermacam surat berharga, obligasi, surat utang yang dikeluarkan bank atau
lembaga keuangan, sulit ditagih. Ini menimbulkan kepanikan di Wall Street,
pasar keuangan Amerika Serikat, dan pasar keuangan dunia lainnya di Eropa
sampai Asia yang juga kejipratan bermacam surat berharga. Sekarang
surat-surat itu menjadi sampah tak ada harganya.

Apa yang terjadi pada Amerika sekarang, menurut Kevin Phillips, sudah
terjadi dulu pada kolonialisme Spanyol, Belanda, dan Inggris. Mereka menjadi
super-power dunia pada zamannya tapi kemudian bangkrut karena terlalu
mengandalkan industri financial.

Bagaimana Indonesia ?.

Sekarang hampir tak ada yang membantah kehancuran ekonomi Amerika Serikat
ini sama artinya dengan kehancuran sistem kapitalisme laissez-faire. Seperti
ditulis David Rothkopf dari Carnegie Endowment dalam sebuah artikel di The
Washington Post, 5 Oktober lalu, ''Krisis ini tak hanya dilihat musuh kita,
tapi kawan-kawan dekat kita pun melihatnya sebagai awal dari berakhirnya
kapitalisme Amerika dan supremasi Amerika''.

Presiden Perancis Nicolas Sarkozy seperti dikutip artikel di atas menyatakan
bahwa kini dunia menyaksikan berakhirnya sistem ekonomi pasar bebas
(free-market economies). ''Laissez-faire, itu sudah habis. Bahwa pasar punya
kekuatan dan dia selalu benar, itu sekarang sudah berakhir'', katanya.

Menteri Keuangan Jerman Peer Steinbruck berkata, ''Amerika akan kehilangan
status sebagai super power sistem keuangan dunia. Dunia akan menjadi
multi-polar. Dunia tak akan pernah sama lagi''.

Selama ini Jerman adalah negara sekutu di Eropa yang paling banyak dikritik
Amerika karena campur tangan pemerintahnya ke pasar. Tapi sekarang justru
pemerintah Amerika yang mencampuri pasar seakan sebuah negara sosialis,
dengan proyek 700 milyar dollar itu.

Malah koran Inggris The Financial Times yang selama ini dikenal amat
pro-pasar sekarang menulis bahwa dunia berada di akhir era kapitalisme
laissez-faire Amerika Serikat (American laissez-faire capitalism).

Oleh karena itu Nicolas Sarkozy mengungkapkan bahwa Perancis, Jerman,
Inggris, dan Italia, berpendapat kini dunia harus membangun kembali dari
bawah sebuah sistem moneter dan finansial global. Untuk itu perlu ada
pertemuan internasional sebagaimana pernah dilakukan di Bretton Woods, New
Hampshire, Amerika Serikat, Juli 1944, yang antara lain kemudian melahirkan
badan keuangan internasional IMF.

Jelas sekarang IMF dan Bank Dunia cuma menjadi alat Amerika Serikat untuk
melaksanakan sistem kapitalisme melalui apa yang disebut Konsensus
Washington.

Dengan kehancuran ekonomi Amerika maka Bank Dunia dan IMF perlu direformasi
atau mungkin harus diganti badan baru yang lebih relevan.

Yang lebih penting lagi peran dollar sebagai mata uang dunia sudah perlu
dipertimbangkan.

Bagaimana Indonesia ?.

Kita sedang menghadapi masalah besar. Sejak krisis ekonomi 1998, Indonesia
sudah menjadi satelit Amerika Serikat melalui operasi-operasi yang dilakukan
IMF bekerja sama dengan para tokoh Mafia Berkeley di bawah pimpinan Profesor
Widjojo Nitisastro (baca Naomi Klein dalam The Schock Doctrine, the Rise of
Disaster Capitalism, Penguin Books, 2007).

Sejak itu Amerika campur tangan mulai dari melakukan amandemen terhadap UUD
1945 -dengan memasukkan pasal-pasal yang sangat liberal- sampai membuat
bermacam undang-undang seperti UU Migas, Sumber Daya Air, Pendidikan, dan
sebagainya. Akibatnya UUD 1945 kacau-balau. Mukaddimahnya menyebutkan
tentang demokrasi perwakilan, tapi presiden, gubernur, bupati dan walikota
dipilih secara langsung. Sistem ini sangat mahal sehingga menyuburkan dan
menyebarkan korupsi.

Kita memang betul-betul sudah menjadi Amerika, malah dalam soal pornografi,
kita lebih bebas dari Amerika Serikat.

Belum lama terungkap badan bantuan pemerintah Amerika Serikat US-AID memberi
dana 21 juta dollar (hampir Rp 200 milyar) untuk mempersiapkan UU Migas.
Jelas itu adalah uang sogok yang melanggar hukum baik di Indonesia mau pun
Amerika Serikat. Seharusnya polisi, KPK, dan FBI harus segera mengusut kasus
suap yang begitu besar.

Sebelumnya, untuk melaksanakan reformasi 1998, sejumlah LSM diberi US-AID
dana 26 juta dollar. Soal dana ini pun sampai sekarang tak pernah
transparan, tetap misterius, padahal berita pemberian dollar itu dimuat
koran The New York Times, 20 Mei 1998.

Presiden SBY bukan cuma pengagum Amerika (ingat pernyataan America my second
country - Amerika negeri saya yang kedua), dia juga pendukung kapitalisme
laissez-faire.

Itulah sebabnya Budiono dan terutama Sri Mulyani diberi kekuasaan yang amat
besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah orang IMF, sehingga ekonomi
negeri ini sebetulnya praktis dikendalikan secara langsung oleh IMF.

Oleh karena itu selama pemerintahan ini konglomerat Indonesia bertambah kaya
berlipat-lipat, sementara jumlah orang miskin bertambah banyak.

Sumber daya alam kita, terutama minyak, sebagian besar dikuasai asing. BUMN
yang di dunia internasional berjaya -ingat Temasek dari Singapore atau
Petronas dari Malaysia- di Indonesia dijajakan kepada asing. Diobral.
Soalnya menurut sistem kapitalisme, BUMN harus diswastakan.

Lihat bagaimana super market Carrefour dari Perancis tumbuh bak jamur di
musim hujan menempati setiap pojok Kota Jakarta. Percayalah Carrefour lebih
banyak jumlahnya di Jakarta dibanding di Paris, kampung halamannya sendiri.
Bahwa pedagang kecil di sini pada bangkrut, itu bukan karena pemerintahan
SBY, tapi karena pasar. Laissez-faire, biarkan terjadi.

Maka setelah bangkrutnya sistem keuangan Amerika Serikat, pemerintahan SBY
terlihat panik, bikin rapat terus menerus.

Tampaknya mereka tak menduga Amerika mengalami nasib seperti ini. Mereka
harus menghadapi kenyataan pasar modal yang selama ini dibanggakan Presiden
SBY sekarang babak-belur.

Ekspor kita akan bermasalah, defisit ekonomi -kita meniru Amerika, APBN-nya
defisit lalu ditombok dalam bentuk utang- akan sulit ditambal, dan Indonesia
akan diserbu berbagai produk asing (seperti dari China) yang mencari pasar
baru, pengganti pasar Amerika.

Yang paling merepotkan, selama pemerintahan SBY bisnis dan politik menyatu.
Sejumlah menterinya adalah juga pengusaha seperti Aburizal Bakrie, Fahmi
Idris, dan beberapa yang lain.

Pada 7 Oktober lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara
(suspensi) perdagangan saham sejumlah perusahaan Group Bakrie.

Dikabarkan saham itu digadaikan ke perusahaan Amerika JP Morgan Chase. Dari
perdagangan saham itu JP Morgan memperoleh keuntungan dan itu dia tarik ke
negerinya dalam bentuk dollar. Akibatnya rupiah terpuruk.

Yang membingungkan, kenapa BEI bertindak begitu terlambat ?. Tentu karena
takut pada nama Bakrie. Itulah repotnya kalau politik dan bisnis menyatu.
Itulah juga yang terjadi dalam kasus lumpur Lapindo yang merugikan begitu
banyak rakyat di Sidoarjo.


Amerika Serikat, Sekarang Republik Pisang .
Amran Nasution.
bagian 1: 13 Oktober 2008 .
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=770
6:amerika-serikat-sekarang-republik-pisang-1&catid=97:amran-nasution&Itemid=

84
<http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=77
06:amerika-serikat-sekarang-republik-pisang-1&catid=97:amran-nasution&Itemid
=84
>
bagian 2 : 23 Oktober 2008.
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=776
2:amerika-serikat-sekarang-republik-pisang-2-&catid=97:amran-nasution&Itemid
=84

<http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=77
62:amerika-serikat-sekarang-republik-pisang-2-&catid=97:amran-nasution&Itemi
d=84
>

*****


Lehman Brothers, perusahaan raksasa keuangan berusia 158 tahun itu kini
bangkrut. Dalam sejarah Amerika, inilah perusahaan paling besar yang pernah
bangkrut. Kemudian Fannie Mae dan Freddie Mac, dua perusahaan keuangan
terbesar dalam bisnis perumahan -semacam Bank Tabungan Negara di sini-
terpaksa diambil-alih pemerintah guna menyelamatkannya dari kepailitan. Hal
yang sama dilakukan terhadap American International Group (AIG), perusahaan
asuransi terbesar di dunia yang berpusat di New York. Sponsor klub sepak
bola Inggris Manchester United ini memiliki asset senilai 1 triliun US
Dollar dengan 100.000 karyawan tersebar di seluruh dunia. Kini 80% sahamnya
dimiliki Bank Sentral Amerika The Fed, begitu pula manejemennya. Sebelumnya,
The Fed mengambil-alih Bear Stearns, bank investasi di Wall Street, New
York, yang sudah oleng. Bank itu kemudian dikawinkan dengan JP Morgan Chase.
Masih ada lagi yang lain. Merrill Lynch, perusahaan keuangan yang amat
terkenal itu, terpaksa
dijual kepada Bank of America. Lalu perusahaan raksasa lainnya seperti
Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan Washington Mutual Wachovia, dikabarkan
sedang berusaha melego saham karena membutuhkan dana segar. Ada juga yang
menyebutkan manajemen perusahaan itu sedang berunding dengan pengusaha China
dan Timur Tengah.

Semuanya adalah korban dari krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat
yang dimulai dari krisis kredit perumahan subprime mortgage, sejak tahun
lalu. Hampir tak masuk akal perusahaan-perusahaan besar dan terkenal semacam
Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Fannie Mae, Freddie Mac,
atau Goldman Sach dan Morgan Stanley, bisa bangkrut atau ambruk. Beberapa di
antara perusahaan itu sudah berumur ratusan tahun, dan berhasil selamat dari
berbagai krisis ekonomi selama ini, termasuk dari krisis ekonomi terdahsyat
dalam sejarah, great depression 1929.

Nyatanya, sekarang mereka terkulai, sebagaimana dialami Lehman Brothers atau
AIG. Kepanikan luar biasa pun melanda pasar modal Amerika di Wall Street,
New York, pertengahan September lalu. Harga-harga saham berjatuhan dan itu
berdampak ke seluruh dunia, termasuk ke Bursa Efek Jakarta (BEJ). Index BEJ
terjun bebas hampir separuhnya, dari 2700 menjadi 1700-an.

Menteri Keuangan Henry Paulson, 62 tahun, bekas CEO perusahaan keuangan
raksasa Goldman Sachs dan Ketua The Fed, Ben S.Bernanke, bekas pengajar
ekonomi-politik Princeton University, kemudian melakukan intervensi ke
pasar. Tampaknya keadaan bisa ditenangkan, entah untuk berapa lama.

The Fed dan Departemen Keuangan memutuskan membeli kredit macet di
perusahaan-perusahaan swasta yang terlibat urusan perumahan.

Artinya, kini pemerintah terlibat dalam jual-beli surat utang. Untuk itu
pemerintah Amerika menyediakan dana sebesar 700 milyar dollar. Ini merupakan
penjaminan terbesar yang diberikan pemerintah kepada perusahaan swasta dalam
sejarah Amerika.

Selain itu, komisi yang mengurusi bursa saham, The Securities and Exchange
Comission (SEC), melarang sementara praktek jual singkat (short sales) 799
jenis saham. Langkah itu meniru apa yang dilakukan Inggris sehari
sebelumnya. Short sales adalah jual-beli saham oleh para agen bermodal
dengkul yang baru membayar bila saham telah terjual.

Dana penyelamatan (rescue plan) tadi berasal dari utang -melalui penerbitan
surat utang dan semacamnya- maka kini utang luar negeri Amerika akan
melonjak menjadi 11,3 triliun US Dollar. Tak ada satu negara pun di dunia
ini yang memiliki utang luar negeri sebesar itu. Pada gilirannya semua utang
itu harus dibayar dari pajak seluruh rakyat Amerika Serikat.

Apa sesungguhnya yang terjadi ?. Krisis ini bermula dari macetnya kredit
perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu
membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama
menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai
belahan dunia. Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai
16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan
hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis.
Penjualan rumah macet. Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut,
seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam
pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime
mortgage.

Tapi ketika Maret 2008, The Fed membantu Bear Stearns, bank investasi di
Wall Street, 29 milyar dollar, untuk kemudian dikawinkan dengan JP Morgan,
banyak pengamat yang meramalkan krisis telah berakhir. Alasannya, meski
rendah, toh buktinya ekonomi Amerika masih terus tumbuh. Sampai 6 bulan
kemudian, September 2008, Fanny Mae dan Freddie Mac tersungkur dan harus
disuntik 200 milyar dollar. Lalu disusul bankrutnya Lehman Brothers dan
sejumlah raksasa lainnya. Oleh karena itu tampaknya sekarang tak ada ahli
yang berani meramalkan sampai kapan krisis ini berakhir.

Meski pemerintah akan memborong saham bermasalah itu, seperti ditulis
Profesor Paul Krugman, pengajar ekonomi Princeton University di The New York
Times, 19 September lalu, "Pertanyaannya, apakah itu dilakukan dengan benar
?''.

Yang pasti, krisis ini sudah berlangsung setahun lebih dan Krugman
menyebutnya sebagai slo-mo crisis alias krisis dengan gerak lambat (slow
motion). Nouriel Roubini, ekonom dari Stern School of Business, New York
University, menunjuk Jepang yang sudah 10 tahun mengalami stagnasi ekonomi,
bisa dijadikan contoh untuk menarik banyak pelajaran. Maka kata Roubini,
"Kereta api resesi sudah meninggalkan stasiun, tapi ia bisa berjalan satu
setengah tahun atau bisa juga lima tahun''.

Dampak yang ditimbulkannya juga terus menggelembung. Pada Juli 2007, Ketua
The Fed, Ben Bernanke, menghitung krisis ini akan menimbulkan kerugian tak
sampai 100 milyar dollar. Nyatanya sekarang dibutuhkan dana 700 milyar
dollar untuk menjamin kredit macet (bad debt). Beberapa ahli meramalkan
jumlah itu akan membengkak menjadi 1 triliun dollar atau lebih.

Apa yang terjadi di Amerika ini menjadi pelajaran berharga. Inilah bukti
bahwa sistem kapitalisme laissez-faire yang liberal itu selalu menyebabkan
krisis, mulai krisis ekonomi terparah di tahun 1929, sampai krisis lainnya,
dan terakhir krisis subprime mortgage ini.

Para ahli sepakat sekarang bahwa krisis ini disebabkan tak adanya regulasi
yang mengatur pasar saham Wall Street. Di dalam ideologi kapitalisme
liberal, regulasi adalah barang haram. Oleh karena itu mantera yang harus
terus diamalkan adalah deregulasi. Dan itu dilaksanakan di Amerika sejak
pemerintahan Presiden Ronald Reagan, di tahun 1980-an.

Reagan menggunakan sistem kapitalisme untuk menghadapi sistem ekonomi
terpusat dari komunisme, musuh Amerika dan Barat dalam Perang Dingin pada
waktu itu. Di zaman Presiden Clinton, misalnya, regulasi yang sudah ada
sejak Great Depression, yang melarang bank komersial memperluas aktivitasnya
dalam berbagai kegiatan finansil lain seperti investasi dan asuransi,
dideregulasi alias dinyatakan tak berlaku.

Apalagi ketika Alan Greenspan menjadi pemimpin The Fed, deregulasi demi
deregulasi dilakukan. Sehingga iklim di sekitar pasar keuangan dan modal
Amerika memang sangat bebas. Alan Greenspan pun dipuji-puji setinggi langit,
termasuk oleh koran-koran utama di Indonesia.

Dalam sistem kredit perumahan, misalnya, kredit diberikan kepada orang di
luar kemampuannya. Dan itu banyak sekali terjadi. Maka ketika tiba waktunya,
terang saja pembayaran kredit itu macet. Parahnya kredit-kredit macet itu
bisa menjadi surat berharga -obligasi, bond, surat utang, dan sebagainya-
dengan nilai tinggi. Ia terjual laris-manis ke mana-mana ke seluruh dunia.

Maka dalam editorial 20 September lalu, koran terkemuka Amerika, The New
York Times dengan sangat keras mengecam sistem kapitalisme liberal yang
ditrapkan pemerintahan Presiden Bush sebagai sumber malapetaka ini.

Menurut editorial itu, rakyat Amerika harus diberi tahu kebenaran yang
fundamental bahwa krisis yang sekarang menerpa Amerika terjadi sebagai hasil
sebuah kesengajaan dan kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur
dan memonitor aktivitas bankir, kreditor, pengelola dana (hedge funds),
asuransi dan pemain pasar lainnya.

Kegagalan pengaturan itu, pada masanya, didasari pada kepercayaan suci dari
pemerintahan Bush bahwa pasar dengan tangan silumannya bekerja dengan sangat
baik ketika ia dibiarkan sendiri, mengatur dirinya sendiri, mengawasi
dirinya sendiri. ''Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan
itu'', tulis editorial tersebut.

Maka berbagai penjaminan, penalangan, yang sekarang dilakukan pemerintah,
menurut editorial tersebut, hanya langkah pertama. Setelah itu, yang harus
dilakukan adalah bekerja keras untuk membuat regulasi yang dibutuhkan oleh
sebuah sistem keuangan yang terpercaya.

Regulasi ?. Istilah itulah selama ini yang dimusuhi kelompok Mafia Berkeley
di Indonesia yang dipimpin Profesor Widjojo Nitisastro. Sejak krisis tahun
1998, Indonesia melalui pemaksaan oleh IMF dan Bank Dunia yang dibantu kaum
Mafia Berkeley, mentrapkan sistem kapitalisme liberal di Indonesia.

Sejak itu berbagai regulasi dihabisi : Bulog dibubarkan, Pertamina
dikempeskan, impor dibebaskan, maka banyak rakyat mati kelaparan.

Indonesia yang kaya sumber daya alam, sekarang adalah surga untuk perusahaan
asing, terutama Amerika Serikat. Mereka menguasai mayoritas ladang minyak
dan gas kita.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terbukti di dunia internasional
sekarang lagi berkibar, di Indonesia dijual. Soalnya, menurut ideologi ini
semua perusahaan harus diprivatisasi alias diswastakan.

Karena undang-undang yang amat liberal maka sumber daya air, pelabuhan,
dunia pendidikan, akan bebas dimasuki pemain asing.

Padahal di Amerika Serikat saja, Dubai Port dari Timur Tengah tak bisa
mengelola pelabuhan di Amerika Serikat sekali pun sudah menang tender.

Menteri-menteri penting adalah penganut sistem kapitalisme liberal. Malah
Sri Mulyani, menteri paling berkuasa dalam kabinet SBY-JK adalah orang IMF.

Jadi meski pun disebutkan IMF tak ada lagi di Indonesia, yang sebenarnya
terjadi bahwa IMF sudah masuk dalam kabinet SBY-JK.

Makanya Presiden SBY, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Keuangan Sri
Mulyani dan kawan-kawannya pendukung sistem kapitalisme liberal di
Indonesia, sebaiknya membaca editorial The New York Times tadi.

Dengan demikian mereka maklum bahwa sebagaimana Amerika Serikat, Indonesia
hanya menunggu giliran akan terjerembab di dalam krisis yang sama, karena
sistem kapitalisme liberal yang mereka terapkan.

Sekarang saja, Indonesia sudah mulai merasakan imbas krisis di Amerika
dengan jatuhnya indeks di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Apalagi, siapa pun tahu, bahwa para pemain di BEJ didominasi asing. Kalau
mereka menarik investasi jangka pendek itu karena suatu keperluan di
negerinya yang sedang dilanda krisis, BEJ bisa jadi pasar loak.

Tapi yang pasti, sistem kapitalisme yang dianut pemerintahan SBY-Kalla, cuma
menguntungkan segelintir kaum pemodal besar. Kekayaan mereka melonjak
berlipat-ganda. Sementara mayoritas rakyat bertambah miskin.

Itu sudah terbukti selama ini dan terjadi di mana saja sistem kapitalisme
dipraktekkan, termasuk di Amerika Serikat. Lihat bagaimana rakyat kecil mati
terjepit karena berebutan zakat, mati karena kurang gizi atau kelaparan.

Itulah yang terjadi selama ini.


Semoga SBY Baca The New York Times.
Amran Nasution.
bagian 1: 23 September 2008.
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=762
5:semoga-sby-baca-the-new-york-times-1&catid=97:amran-nasution&Itemid=84

<http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76
25:semoga-sby-baca-the-new-york-times-1&catid=97:amran-nasution&Itemid=84
>
bagian 2 : 24 September 2008.
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=763
2:semoga-sby-baca-the-new-york-times-2-habis&catid=97:amran-nasution&Itemid=

84
<http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76
32:semoga-sby-baca-the-new-york-times-2-habis&catid=97:amran-nasution&Itemid
=84
>

*****


Bank-bank dan lembaga keuangan besar berjatuhan. Rata-rata karena kesulitan
likwiditas.
Kemana hilangnya uang kertas ?.

Ini adalah pertanyaan awam yang muncul hampir di seluruh dunia sekarang
menyangkut banyaknya bank-bank dan lembaga keuangan besar yang berjatuhan.
Bank-bank dan lembaga keuangan tersebut berjatuhan rata-rata adalah karena
kesulitan likwiditas.

Mengapa kesulitan likwiditas ini berlaku serentak ?, bukankah namanya
likwiditas seharusnya menyerupi sifat air (liquid = cairan ) yaitu kalau
tidak ada di suatu tempat (bank) mestinya mengalir ketempat (bank) lain ?,
kenapa krisis likwiditas selalu serentak/bersamaan...?.

Logika awamnya memang demikian, tetapi bukan logika awam ini yang berlaku di
dunia perbankan dan keuangan global.

Mayoritas likwiditas dunia perbankan adalah bukan dari uang seperti yang
kita kenal uang kertas dan uang logam , tetapi dari uang bank yang
dihasilkan melalui suatu proses penciptaan uang (money creation) nan canggih
dalam sebuah system perbankan yang disebut Fractional Reserve Banking.

Berikut illustrasinya :

Asumsikan Anda punya uang Rp 1 Milyar dan Anda taruh di Bank A, maka sebagai
contoh di Indonesia Bank A hanya wajib mencadangkan 5%-nya atau Rp 50 juta.
Selebihnya Rp 950 juta oleh Bank A dapat dipinjamkan ke Bank B. Karena bank
B juga hanya wajib mencadangkan 5%-nya atau Rp 47.5 juta, maka dari uang
pinjaman tersebut bank B dapat meminjamkan lagi ke Bank C sebesar 95%nya tau
Rp 902.5 juta. Bank C kemudian meminjamkannya lagi ke Bank D, D ke E
dst-dst.

Secara teoritis uang yang tadinya hanya Rp 1 Milyar melalui Fractional
Reserve Banking dengan minimum reserve 5 % berpotensi menghasilkan
likwiditas berupa uang bank yang besarnya 20 kali lipat atau Rp 20 Milyar.

Dampak sebaliknya juga terjadi, bila Rp 1 Milyar uang Anda tersebut Anda
tarik dari Bank A - maka seluruh system perbankan berpotensi kehilangan
likwiditas bukan hanya Rp 1 Milyar melainkan Rp 20 Milyar uang bank yang
tercipta melalui system perbankan yang 'brilliant' yang disebut Fractional
Reserve Banking tersebut !.

Bayangkan kalau banyak orang yang mempunyai uang seperti Anda menarik
uangnya rame-rame dari perbankan, pastilah bank yang sekuat apapun akan
collapse.

Jadi yang terjadi dalam krisis likwiditas global sekarang bukan karena
likwiditas mengalir dari satu tempat ke tempat lain - seperti mengalirnya
air, melainkan likwiditas yang tadinya memang tidak ada atau hanya 'semu'
kembali menjadi tidak ada.

Selama system perbankan mengadopsi system Fractional Reserve Banking maka
kebangkrutan satu bank akan selalu menyeret seluruh industri perbankan.

Atas alasan ini negara-negara di dunia selalu mati-matian menyelamatkan Bank
yang lagi bermasalah, karena kalau tidak diselamatkan dampak yang lebih
buruk akan terjadi.

Inilah bedanya system keuangan perbankan ribawi dengan system Dinar. Dalam
system keuangan ribawi - perbankan selalu menjadi awal musibah atau penyebab
dalam setiap krisis; ingat krisis di Indonesia 97/98 dan juga krisis di
Amerika saat ini.

Sebaliknya dalam sejarah keuangan berbasis Dinar, Sharf (tempat penukaran
uang Dinar di zaman kekhalifahan) sering bertindak menyelamatkan negara
dengan memberi pinjaman pada negara pada saat negara mengalami krisis
keuangan karena perang dlsb.

Kalau sekarang saya tawarkan system Dinar untuk mengatasi krisis keuangan
global yang sedang terjadi....maka para ekonom yang canggih-canggih akan
mentertawakan saya; tetapi karena solusi ribawi yang mereka cari just not
exist ... maka hanya waktu-lah yang akan membuktikan bahwa ketika kepepet
tidak ada solusi lain - manusia akan selalu kembali ke solusi yang fitrah.

Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh
jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain
orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
(QS 31:32).


Kemana Menghilangnya Likwiditas (Uang Kertas) ?.
Muhaimin Iqbal.
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=769
8:kemana-menghilangnya-likwiditas-uang-kertas-&catid=109:muhaimin-iqbal&Item
id=78

<http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76
98:kemana-menghilangnya-likwiditas-uang-kertas-&catid=109:muhaimin-iqbal&Ite
mid=78
>

*****


Ini berawal dari sumber malapetaka dunia - Amerika Serikat. Mulanya kasus
Bear Stearns yang menjadi pemicu bertambahnya supply uang US$ 150 milyar.
Kemudian Fannie Mae & Freddy Mac US$ 200 Milyar ( berpotensi US$ 500
milyar). Kemudin lagi kasus-kasus Lehman Brothers, Mery Lynch, AIG yng
semuanya mendorong penambahan jumlah uang hingga US$ 700 milyar.

Bahkan para ekonom sepakat ini belum berakhir, final bailout nanti bisa
berkisar antara US$ 2 trilyun - US$ 5 trilyun.

Menurut Mary Anne & Pamela Aden dari Aden Forecast (www.adenforecast.com
<http://www.adenforecast.com> ) akan ada jeda waktu sekitar 1 tahun antara
proses money creation dan inflasi; jadi menurut mereka sekitar satu tahun
dari sekarang akan terjadi Hyperinflasi yang luar biasa di Amerika yang
dipicu oleh money creation dari serangkaian bail-out tersebut diatas.

Kalau mimpi buruk hyperinflasi tersebut tidak terjadi maka masih menurut
Aden Forecast deflasi-lah yang akan terjadi. Ini akan terjadi bila ketakutan
bank-bank di Amerika untuk menyalurkan kredit berlangsung terus.

Kalau yang kedua ini yang terjadi, maka dunia akan kesulitan likuiditas,
industri bisa macet, lapangan kerja semakin menghilang dan berbagi mimpi
buruk lainnya juga menjelma menjadi kenyataan.

Rupanya Bush ingin memperbaiki rapotnya sekarang dengan meninggalkan bom
waktu bagi siapapun penggantinya.

Mana saja dari kedua hal tersebut terjadi, dampaknya akan sampai ke
Indonesia seperti yang kita alami selama ini.

Lantas apa yang bisa kita lakukan ?.

Pertama istigfar seperti tulisan saya bulan lalu, kemudian mengikuti
tuntunan Al-Quran dalam mengantisipasi paceklik global yang antara lain
dicontohkan di Surat Yusuf 47-48.

Kedua, langkah konkrit berikutnya adalah hijrah dari mata uang yang tidak
adil ke mata uang yang adil dan stabil sepanjang jaman yaitu Dinar dan
Dirham.

Apa benar dengan mata uang Dinar, mimpi buruk sperti Inflasi dan Deflasi
tersebut tidak terjadi ?.

Untuk Inflasi, sejarah telah membuktikannya. Seandainya uang Dinar mengalami
inflasi 1 % saja pertahun, maka harga kambing sekarang akan setara dengan 1
Dinar x (1+0.01)^1400 = 1,121,820 Dinar !.

Tetapi karena realitanya harga kambing sekarang adalah sama dengan harga
kambing di jaman Rasulullah SAW yaitu 1 Dinar, maka inflasi Dinar selama
1400 tahun adalah 0.00% yaitu 1 Dinar (1+0.00)^1400 = 1 Dinar !.

Bagaimana dengan deflasi ?; penggunaan Dinar harus dipahami dan dijalankan
mengikuti syariah Islam; khususnya yang terkait erat dengan supply uang ini
adalah larangan menimbun.

Emas tersedia cukup untuk seluruh umat manusia karena laju pertumbuhannya
berkisar 1.5% - 4.0% pertahun; sementara pertambahan jumlah penduduk dunia
hanya sekitar 1.2% pertahun.

Emas menjadi tidak cukup digunakan sebagai uang apabila ada yang menimbunnya
- inilah mengapa Allah sangat mengancam orang-orang yang menimbun emas (yang
berarti juga menimbun harta lainnya). (QS 9 :34-35)

Jadi sangat mungkin (bahkan sudah seharusnya) kita bisa hidup di jaman yang
bebas Inflasi dan Deflasi - kalau mau kembali ke tuntunan kita yaitu
Al-Quran dan Sunnah RasulNya.

Bahkan ada jaminan kita tidak akan tersesat selamanya selama kita berpegang
pada Al-Quran dan Sunnah RasulNya.

Masih kah kita akan berpegang pada pegangan yang lain yang akan menjepit
kita bagaikan sandwich ?.

Masihkah kita percayai system keuangan spekulatif ribawi yang diperkenalkan
dunia Barat - yang di negaranya sendiri menjadi pangkal bencana ?.

Sudah aku sampaikan Ya Allah..., sesungguhnya Engkau maha menyaksikan.


Dunia Tanpa Inflasi dan Deflasi, Mungkinkah ?.
Muhaimin Iqbal.
27 October 2008.
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=778
5:dunia-tanpa-inflasi-dan-deflasi-mungkinkah-&catid=109:muhaimin-iqbal&Itemi
d=78

No comments:

Post a Comment

Monggo..
silahkan di isi komentarnya..
Siapapun boleh, en gak di gigit balik kok..